Sambangi Bareskrim, Gatot Nurmantyo Cs Bacakan 7 Petisi Sikapi Penangkapan Petinggi KAMI

Sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) membacakan petisi yang ditujukkan kepada Kapolri Jenderal Pol Idham Azis di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020) siang. Petisi itu salah satunya berisikan protes penangkapan terhadap tokoh tokoh KAMI yang dilakukan Bareskrim Polri. Petisi itu secara simbolis dibacakan Presidium KAMI Rochmat Wahab.

"Kami datang ke sini dalam komposisi lengkap, baik presidium, eksekutif, maupun deklarator. KAMI adalah organisasi yang memegang teguh konstitusi dan menjunjung tinggi moral, untuk itu kami datang ke sini untuk menyampaikan petisi kepada bapak Kapolri," kata Presidium KAMI Gatot Nurmantyo di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10/2020). Gatot mengharapkan Polri dapat memegang teguh prinsip dan mengawal hukum secara berkeadilan. Ia mengharapkan Polri bisa menjadi contoh dan tauladan terhadap penegakan hukum di Indonesia.

"Kalau ada kekurangan kekurangan kewajiban kami sebagai warga negara menyampaikan pendapat pendapat dalam petisi ini, berkaitan dengan saudara saudara kami yang ditahan. Bukan hanya yang dari KAMI, termasuk yang lain lainnya yang ditahan," tandasnya. Dalam petisi itu, ada tujuh poin yang berisikan kritikan dan harapan KAMI terhadap Kapolri, sebagai berikut: 1. KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Penangkapan mereka, khususnya Dr. Syahganda Nainggolan, jika dilihat dari dimensi waktu dasar Laporan Polisi dan keluarnya Sprindik pada hari yang sama jelas aneh atau tidak lazim dan menyalahi prosedur. Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis.

2. Proses penangkapan para pejuang KAMI, sangat dipaksakan, tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, bahkan terlihat seperti menangani teroris. Penangkapan Moh Jumhur Hidayat, yang sehari sebelumnya menjalani operasi batu empedu di rumah sakit, sebagai orang mantan pejabat tinggi yang pernah berjasa besar pada negara, jelas sangat berlebihan dan di luar batas prikemanusiaan. 3. Pengumuman pers Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan tersebut KAMI nilai: A) Mengandung nuansa pembentukan opini (framing). Melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius.

B) Bersifat prematur yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung. 4. Semua hal di atas, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang seyogyanya harus ditegakkan oleh lembaga penegak hukum/Polri. 5. KAMI menegaskan bahwa ada indikasi kuat handphone beberapa Tokoh KAMI dalam hari hari terakhir ini diretas/dikendalikan oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau "digandakan" (dikloning). Hal demikian sering dialami oleh para aktifis yang kritis terhadap kekuasaan negara, termasuk oleh beberapa Tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, "bukti percakapan" yang ada sering bersifat artifisial dan absurd.

6. KAMI menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis dalam unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa dan belajar dengan Organisasi KAMI. KAMI mendukung mogok nasional dan unjuk rasa kaum buruh sebagal bentuk penunaian hak konstitusional, tapi KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan. Polri justru diminta untuk mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran (sebagaimana diberitakan oleh media sosial). 7. KAMI meminta Polri membebaskan para Tokoh KAMI dan korban lainnya yang sengaja dijerat mengunakan UU ITE yang banyak mengandung "pasal pasal karet" dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara.

Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, maka Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidik KAMI dan pihak lain yang dianggap melawan pemerintah saja sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri. Bareskrim Polri menetapkan tiga orang deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sebagai tersangka. Penetapan tersebut setelah ketiga tersangka diperiksa lebih dari 1×24 jam sejak ditangkap.

Diketahui, tiga deklarator KAMI yang ditetapkan tersangka adalah Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Mereka juga telah dilakukan penahanan sementara di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. "Iya sudah ditahan. Namanya sudah ditahan, sudah jadi tersangka," kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (14/10/2020).

Namun demikian, Awi mengaku masih enggan membeberkan lebih lanjut rincian masalah yang membuat ketiga deklarator KAMI itu ditetapkan tersangka. Nantinya, penyidik polri akan merilis kasus tersebut pada Kamis (15/10/2020) besok. "Besok akan dilakukan rilis, silakan tanya sejelas jelasnya. Akan dijelaskan secara detail, rencananya besok ya. Semoga tidak meleset," tukasnya.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Medan Kahiri Amri dan tiga pengurusnya Juliana, Devi dan Wahyu Rasari Putri ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, anggota KAMI Jakarta Kingkin Anida juga telah berstatus tersangka. Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono mengatakan pihaknya juga telah melakukan penahanan terhadap 5 tersangka tersebut di Bareskrim Polri. Mereka ditetapkan sebagai tersangka berkaitan dengan unjuk rasa Omnibus Law berujung ricuh. "Yang sudah 1×24 jam (pemeriksaan, Red) sudah jadi tersangka. Tapi yang masih belum, masih proses pemeriksaan hari ini," kata Brigjen Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020)

Sementara itu, Bareskrim Polri masih belum memutuskan status hukum anggota Komite Eksekutif KAMI yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Ketiganya saat ini masih berstatus terperiksa di Bareskrim Polri. "Yang dalam pemeriksaan 1 x 24 jam ini tentunya Polri akan melakukan pemeriksaan intensif sembari juga menunggu yang beberapa belum ada pengacaranya kita tunggu, tentunya nanti akan ditindaklanjuti terkait dengan penyidikannya," jelasnya. Lebih lanjut, Awi mengatakan kelima tersangka dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hal itu termaktub dalam 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP.

Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. "Mereka dipersangkakan setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu ataupun kelompok tertentu didasarkan atas SARA dan atau penghasutan," ungkapnya. Dalam kasus ini, pihak kepolisian masih enggan merinci secara detail peran masing masing tersangka dalam kasus tersebut. Termasuk dengan barang bukti yang didapatkan polri terkait kasus ini.

Nantinya, pihaknya berjanji akan mengungkap kasus tersebut setelah penyidik melakukan pemeriksaan secara intensif kepada seluruh tersangka.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*