Inovasi tiada henti terus mengalir dari para pemuda Indonesia, kali ini datang dari tangan-tangan kreatif mahasiswa Universitas Pertamina yang berhasil mengubah limbah tahu dan kotoran sapi menjadi biogas dalam tempo yang mengagumkan.
Sebuah langkah revolusioner yang membawa angin segar bagi energi alternatif di tanah air. Trois Dilisusendi, Kepala Subdit Penyiapan Program Bioenergi dari Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), telah menetapkan target yang ambisius: memasang Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) sebanyak 489,8 juta meter kubik pada tahun 2025. Namun, realitas pahit menyatakan bahwa hingga tahun 2022, pemanfaatan PLTBg masih minim, hanya sekitar 47,72 juta meter kubik atau setara dengan 9,7% dari total potensi yang dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, komunal, dan industri.
Kendala utama yang ditemui adalah proses produksinya yang lambat, mencapai sekitar 30 hari, seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian oleh Mago pada tahun 2020. Tak hanya itu, teknologi konvensional yang masih digunakan juga memiliki keterbatasan, terutama dalam hal suhu. Tabung biogas konvensional hanya mampu mencapai suhu maksimum 37 derajat Celsius, membatasi efisiensi proses produksi.
Namun, mahasiswa Universitas Pertamina tidak gentar dihadapkan dengan tantangan tersebut. Dalam kolaborasi antara PT Pertamina (Persero), Pertamina Foundation, dan Universitas Pertamina melalui program Desa Berdikari Sobat Bumi (DEB SOBI), mereka menggarap solusi inovatif. Desa Bojongkulur, Kabupaten Bogor, menjadi panggung utama bagi eksperimen ini.
“Dikenal sebagai desa yang mampu memproduksi hingga 2.000 tahu setiap harinya, namun pengelolaan limbah tahu di Desa Bojongkulur belum maksimal. Kami mencoba mengelola limbah tersebut agar bisa dimanfaatkan sebagai energi biogas,” ujar Yama, mahasiswa Teknik Perminyakan Universitas Pertamina, semangatnya memancar dalam wawancara daring.
Riset yang dimulai sejak Januari 2024 telah menghasilkan reaktor biogas sebanyak 1,7 meter kubik. Langkah selanjutnya adalah menggabungkan limbah tahu dengan kotoran sapi sebagai aktivator bakteri. Prosesnya dibagi dalam dua tahap utama. Tahap pertama, inokulasi, di mana kotoran sapi dimasukkan ke dalam reaktor dan dibiarkan mengendap selama 4-5 hari. Setelah gas metana terbentuk, tahap kedua, adaptasi, dimulai dengan memasukkan limbah tahu secara perlahan hingga mencapai target produksi sebesar 750 liter per hari.
Untuk mempercepat proses produksi, mereka turut memanfaatkan energi matahari melalui panel surya sebagai alat pemanas. Panel surya membantu meningkatkan suhu reaktor hingga 50 derajat Celsius, mempercepat aktivitas bakteri dalam mengolah limbah tahu menjadi biogas.
Hasilnya sungguh membanggakan. Proses pengembangan biogas DEB SOBI mampu menghasilkan biogas dua kali lebih cepat dibandingkan dengan teknologi konvensional. Biogas yang dihasilkan dari 750 liter limbah tahu telah dimanfaatkan oleh dua rumah tangga dan akan segera dipasang untuk kebutuhan produksi tahu di Desa Bojongkulur.
Rektor Universitas Pertamina, Prof. Dr. Ir. Wawan Gunawan A. Kadir MS, memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan energi biogas ini. Menurutnya, pendekatan holistik dalam pembelajaran, ditambah dengan pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan, mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi agen perubahan yang berkontribusi positif dalam masyarakat.
Bagi mereka yang tertarik untuk ikut meramaikan dunia inovasi energi, Universitas Pertamina membuka peluang melalui penerimaan mahasiswa baru. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui https://pmb.universitaspertamina.ac.id/. Jangan lewatkan kesempatan emas ini untuk berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan!
Leave a Reply